Selasa, 18 Januari 2011

Sejarah Minangkabau


Alam Minang Kabau

*1. Pengertian Alam


Pengertian “alam” bila diperhatikan kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, mengemukakan alam:1. Dunia, misalnya : alam semesta, syah alam.2. Kerajaan : daerah, nagari, misalnya : Alam Minangkabau

Dari keterangan ini dapat diambil pengertian, bahwa alam yang dimaksud oleh orang Minangkabau adalah daerah Minangkabau. Untuk menentukan mana yang termasuk alam Minangkabau dapat dilihat dari keterangan tambo. Batas-batas daerah alam Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dikemukakan dengan batas-batas alam. Batas-batas alam ini kadang-kadang sulit ditafsirkan dengan pengertian sekarang. Batas-batas terebut seperti dikatakan “…dari riak nan badabua, seluluak punai mati, sirangkak nan badangkang, buayo putiah daguak, taratak aia hitam, sikilang aia bangieh, sampai kadurian di takuak rajo…”.

Dari batas-batas yang dikemukakan ini tidak semuanya dapat ditafsirkan seperti nama siluluak punai mati, sirangkak nan badangkang dan lain-lain. Sedangkan taratak aia hitam dan sikilang aia bangih merupakan nama nagari yang sampai sekarang masih ditemui. Sikilang Aia Bangih adalah daerah pantai barat di Utara Sumatera Barat, sedangkan taratak aia hitam di daerah Bangko Tanah Tinggi. Riak nan badabua adalah Laut pantai Barat dari Sumatera Barat.

Bila diperhatikan peta geografis Propinsi Sumbar sekarang, maka batas-batas alam Minangkabau tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan dalam tambo Alam Minangkabau. Untuk jelasnya dapat dikemukakan, sebelah barat batasnya Samudra India, sebelah timur batasnya sialang balantak basi dan durian di takuak rajo. Sialang balantak basi berbatasan dengan Propinsi Riau. Sebelah Utara batasnya sikilang aia bangih, berbatasan dengan Sumatera Utara. Sebelah selatan batasnya taratak aia hitam adalah Muko-muko, berbatasan dengan Propinsi Bengkulu.

Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam tambo alam Minangkabau tidak dikemukakan Pulau Mentawai, maupun tempat pemukiman orang Minangkabau seperti Nagari Sembilan dan Tapak Tuan. Bila ditinjau sejarah perkembangan geografis dan perpindahan orang Minangkabau, maka alam Minangkabau terdiri dari Pusat Alam Minangkabau dan daerah rantaunya dengan batas-batas yang disebutkan di atas.

Sehubungan dengan hal tersebut, batas geografis alam Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dan penutur adat lainnya menunjukkan, bahwa alam Minangkabau adalah daerah pusat alam Minangkabau (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dengan daerah rantauannya masing-masing. Untuk membicarakan alam Minangkabau ini kita tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan laras, luhak dan rantau karena satu sama lain berkaitan.

*2. Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago
1. Asal Kata dan Pengertian Kata Kelarasan

Dalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi kerancuan mengenai kata “lareh” dengan kata “laras”. Dalam bahas daerah Minangkabau, kata “lareh” berarti hukum, yaitu hukum adat. Jadi lareh Koto Piliang berarti Hukum Adat Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago berarti Hukum Adat Bodi Caniago. Disamping itu kata lareh berarti “daerah” seperti Lareh Nan Panjang.

Menurut kepercayaan orang Minangkabau yang berpedoman kepada tambo Alam Minangkabau, pertama sekali didirikan Lareh Nan Panjang yang berpusat di Pariangan Padang Panjang yang dianggap sebagai nagari tertua di Minangkabau. Pucuk pimpinan pada waktu itu Dt. Suri Dirajo. Nagari yang termasuk daerah Lareh Nan Panjang adalah : Guguak Sikaladi, Pariangan, Padang Panjang, Sialahan, Simabua, Galogandang Turawan, Balimbiang. Daerah ini dikatakan juga Nan Sahiliran Batang Bangkaweh, hinggo Guguak Hilia, Hinggo Bukik Tumansu Mudiak.

Semasa penjajahan Belanda daerah Minangkabau dijadikan Kelarasan yang dikepalai oleh seorang Laras atau Regent. Kelarasan bikinan penjajahan Belanda ini merupakan gabungan beberapa Nagari dan tujuannya lebih mempermudah pengontrolan oleh penjajah. Yang menjadi laras atau regent ditunjuk oleh Belanda. Setelah penjajahan Belanda berakhir, maka kelarasan bikinan Belanda ini juga lenyap tidak sesuai dengan susunan pemerintahan secara adat yang berlaku di Minangkabau.

2. Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Chaniago dengan Daerahnya.

Yang termasuk lareh Koto Piliang dengan pengertian yang memakai sistem adat Koto Piliang disebut Langgam Nan Tujuah. Langgam Nan Tujuh itu adalah sebagai berikut:

1. Sungai Tarab Salapan Batu, disebut Pamuncak Koto Piliang
2. Simawang Bukik Kanduang, disebut Perdamaian Koto Piliang
3. Sungai Jambu Lubuak Atan, disebut Pasak Kungkuang Koto Piliang
4. Batipuah Sepuluh Koto disebut Harimau Campo Koto Piliang
5. Singkarak Saniang Baka, disebut Camin Taruih Koto Piliang
6. Tanjung Balik, Sulik Aia, disebut Cumati Koto Piliang
7. Silungkang, Padang Sibusuak, disebut Gajah Tongga Koto Piliang

Disamping Langgam Nan Tujuh, nagari-nagari lain yang termasuk Lareh Koto Piliang adalah Pagaruyuang, Saruaso, Atar, Padang Gantiang, Taluak Tigo Jangko, Pangian, Buo, Bukik Kanduang, Batua, Talang Tangah, Gurun, Ampalu, Guguak, Padang Laweh, Koto Hilalang, Sumaniak, Sungai Patai, Minangkabau, Simpuruik, Sijangek.

Pusat pemerintahan Lareh Koto Piliang di Bungo Satangkai Sungai Tarab. Dengan demikian pusat pemerintahan sudah tidak di pariangan padang panjang lagi. Daerah-daerah yang termasuk Lareh Bodi Canago disebut juga dalam tambo “Tanjuang Nan Tigo, Lubuak Nan Tigo” :

Tanjuang Nan Tigo
1. Tanjuang Alam
2. Tanjuang Sungayang
3. Tanjuang Barulak

Lubuak Nan Tigo
1. Lubuak Sikarah di Solok
2. Lubuak Simauang di Sawahlunto Sijunjung
3. Lubuak Sipunai di Tanjuang Ampalu

Disamping Lubuak Nan Tigo dan Tanjuang Nan Tigo, yang termasuk Lareh Bodi Caniago juga adalah Limo Kaum XII Koto dan sembilan anak kotonya. Daerah yang termasuk XII Koto adalah: Tabek, Sawah Tengah, Labuah, Parambahan, Sumpanjang, Cubadak, Rambatan, Padang Magek, Ngungun, Panti, Pabalutan, Sawah Jauah. Sembilan Anak Koto Terdiri Dari : Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk, Rajo Dani. Pusat pemerintahan di Dusun Tuo Limo Kaum.

Suatu peninggalan Lareh Bodi Caniago yang sampai saat sekarang merupakan monumen sejarah adalah Balairung Adat yang terdapat di desa Tabek. Di Balairung Adat inilah segala sesuatu dimusyawarahkan oleh ninik mamak bodi caniago pada masa dahulu.

3. Beberapa Pendapat Tentang Lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago

Mengenai lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago ada beberapa versi. Datuk Batuah Sango dalam bukunya Tambo Alam Minangkabau mengemukakan sebagai berikut :

“…sesudah itu mufakatlah nenek Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Suri Dirajo hendak membagi kelarasan, maka dibagilah oleh orang yang bertiga itu menjadi dua kelarasan…”.

Adapun sebabnya dibagi dua laras negeri itu yaitu karena yang menjadi kepala atau yang punya pemerintahan ialah Datuk Ketumanggungan, dialah yang menjadi raja pada waktu itu. Sebab Datuk Ketumanggungan ini adalah anak dari raja, dan datuk perpatih ini yaitu di bawah Datuk Ketumanggungan sebagai berpangkat mangkubumi (perdana menteri) karena ia adalah orang yang pandai mengatur kerajaan sehingga negeri pariangan padang panjang menjadi besar dan sempurna peraturannya.

Dan dapat pula ia meluaskan pemerintahan samapai ke durian ditakuak rajo hingga sialang balantak basi sampai ke sipisau-pisau hanyuik hingga semuanya adalah oleh peraturan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Oleh karena itu berfikirlah Datuk Ketumanggungan akan membalas jasa usaha dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan mufakatlah Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang serta Datuk Suri Dirajo dengan segala penghulu-penghulu, manti dan hulubalang, sambil Datuk Ketumanggungan bersuara lebih dahulu dalam kerapatan, karena nagari sudah ramai dan peraturan sudah sempurna diatur oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, tidaklah saya dapat membalas budinya itu melainkan negeri ini saya berikan sebagian supaya boleh ia berkuasa pula memerintah dalam negeri ini.

Sesudah bicara Datuk Ketumanggungan itu, maka dijawab oleh anggota kerapatan, itulah kata tuanku yang pilihan atau kata yang tak boleh dipalingkan lagi. Sebab itulah pemerintahan Datuk Ketumanggungan bernama Koto Piliang berasal dari kota pilihan, atau dari kata yang tidak boleh dipalingkan. Pemerintahan Datuk Perpatih Nan Sabatang bernama Bodi Caniago yang berasal dari budi yang berharga.

Untuk memperoleh pengertian dari kutipan diatas adalah, bahwa pada mulanya kepala pemerintahan adalah Datuk Ketumanggungan sesudah ayahnya meninggal dunia. Sedangkan yang membantunya sehari-hari adalah adiknya yang berlainan ayah yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Berkenaan adiknya telah berrbuat baik dalam meluaskan daerah dan pemerintahan, timbulah niat saudaranya untuk membalas budi baik adiknya Datuk Perpatih Nan Sabatang. Niatnya ini disampaikan pada suatu sidang kerapatan adat. Setelah niatnya disampaikan kepada sidang kerapatan, untuk memberi daerah kekuasaannya sebagian kepada adiknya semua anggota sidang kerapatan setuju dengan rencana yang dikemukakan oleh Datuk Ketumanggungan. Bahkan dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Datuk Ketumanggungan tersebut, sudah merupakan kata pilihan, dengan arti kata tidak perlu lagi dipersoalkan.

Dari sinilah asal kata Koto Piliang yaitu dari kata yang pilihan. Sedangkan pemerintahan atau sistim adat Bodi Caniago berasal dari bodi baharago (budi yang berharga), yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang telah bertanam budi terlebih dahulu dan kemudian mendapat penghargaan dari saudaranya Datuk Ketumanggungan.

Pendapat lain mengatakan bahwa Bodi Caniago berasal dari kata “bodhi caniago” yang artinya berasal dari kata bhodi can yaga yang artinya bahwa budi nurani manusialah yang menjadi sumber kebajikan dan kebijakan. Sedangkan Koto Piliang berasal dari bahasa sansekerta yaitu “koto pili” yang dari kata pili hyang artinya segala sesuatu bersumber sabda dari hyang dan pili sama artinya dengan karma atau dharma. Datuk Ketumanggungan seorang penganut hiduisme yang regilius, percaya manusia disusun dalam kerangka hirarki piramidal dengan pucuk, seorang pribadi yang merenungkan langit (hyang). Datuk Perpatih Nan Sabatang seorang egaliter, demokrat murni yang menilai tinggi kedudukan pribadi yang menganut persamaan dan kesamaan.

Pada dasarnya orang minangkabau sampai sekarang masih memegang teguh asal kata Koto Piliang dan Bodi Caniago yang bersumberkan kepada tambo Alam Minangkabau.

4. Berberapa Perbedaan Adat Koto Piliang Dengan Bodi Caniago

Ada beberapa perbedaan dalam kedua sistim adat ini seperti berikut:

a. Memutuskan Perkara

Menghadapi sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago berpedoman kepada “…tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah samo nyato di batin buliah diliekti…” (tuah karena sekata, mulanya rundingandimufakati, dilahir sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu pekerjaan atau menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati, dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama, sedangkan Koto Piliang berdasarkan kepada “…nan babarih nan bapahek, nan baukua, nan bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo bumbuang…” ( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh dilihat, cupak penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau peraturan yang dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus dilaksanakan dengan arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.

b. Mengambil Keputusan

Dalam mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “…kato surang dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari bumi…”. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata yang sebuah, pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan kunci, terpaut makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan, putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi). Maksud dari sistem adat Bodi Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem musyawarah mencari mufakat.

Sedangkan Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, “…titiak dari ateh, turun dari tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung…” (titik dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata sorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik ditampung).

c. Pengganti Gelar Pusaka

Pada lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu mengganti gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang digantikan itu sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga “lurahlah dalam, bukiklah tinggi” (lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang “baka mati batungkek budi” (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru bisa digantikan setelah orangnya meninggal dunia.

d. Kedudukan Penghulu

Pada lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah sebagai pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat tunggang). Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya “sahamparan, tagak sapamatang” (duduk sehamparan tegak sepematang).

e. Balai Adat dan Rumah Gadang

Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai yang lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia duduk sesuai dengan fungsinya dalam adat.

Pada lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja. Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.

Secara substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan umum dipihak lain. Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia sendiri.

*3. Luhak
1. Pengertian Luhak

Dalam bahasa daerah Minangkabau kata luhak diucapkan dengan “luak”. Artinya yang terkandung dari padanya adalah negeri, daerah, sumur, susut, berkurang. Dari tambo Alam Minangkabau sejarah lahirnya luhak dihubungkan dengan pengertian kurang. Seperti dikemukakan Luhak Tanah Datar berarti kurang tanah yang datar. Juga ada pendapat karena Tanah Datar sebagai luhak yang tertua, maka adat dan penduduknya berpindah dari sini. Dengan demikian berkurang jugalah Luhak Tanah Datar ini.

Luhak Agam menurut ceritanya : orang-orang agam berasal dari keturunan Harimau Campo, mereka mempunyai watak pemberani, jantan dan pamuncak. Agam itu artinya pemberani, jantan dan pamuncak. Setelah orang-orang Harimau Campo pindah dari Pariangan Padang Panjang kesebelah barat gunung merapi (melalui batipuah) maka “luak”lah orang-orang pemberani yang akan mengamankan Nagari Pariangan Padang Panjang. Oleh karena itu tersebutlah di Pariangan Padang Panjang “Luhak Orang Agam” (kurang orang pemberani) dalam nagari Pariangan Padang Panjang, karena mereka telah pindah ke tempat yang baru. Tidak ada hubungan dengan “luak agama” karena pada masa itu orang Minangkabau belum islam.

Luhak Lima Puluh Kota penduduknya berasal dari Pariangan Padang Panjang. Mereka berangkat untuk mencari tempat pemukiman baru sebanyak lima puluh orang. Disebuah padang dekat piladang sekarang hari sudah malam. Keesokkan harinya jumlah rombongan itu tidak ditemui lima orang. Setelah saling bertanya semuanya mengatakan “antah” dan tempat tersebut sampai sekarang bernama padang siantah. Keturunan yang berjumlah 45 orang ini merupakan asal penduduk luhak lima puluh kota, dengan pengertian sudah kurang dari lima puluh.

Dalam pengertian sehari-hari di daerah Minangkabau kata “luak” juga berarti sumur. Pergi ke luak berarti pergi mengambil air atau pergi mandi. Luak dengan pengertian sumur ini juga ada kaitannya dengan kurang, sebab sumur tersebut berada pada tanah yang kerendahan, bisa kemudian digenangi air yang sewaktu-waktu airnya bisa berkurang (luak).

2. Luhak Tanah Datar

daerah yang termasuk Luhak Tanah Datar terdiri atas empat bahagian yaitu : Lima Kaum XII Koto, Sungai Tarab Salapan Batu, Batipuah X Koto dan Lintau Buo IX Koto. Lima Kaum XII Koto terdiri dari : Ngungun, Panti, Cubadak, Supanjang, Pabalutan, Sawah Jauah, Rambatan, Padang Magek, Labuah, Parambahan, Tabek dan Sawah Tangah. Lima Kaum XII Koto dengan sembilan koto di dalam terdiri dari Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk dan Rajo Dani.

Sungai Tarab Salapan Batu daerahnya, Koto Tuo, Pasia Laweh, Sumaniak jo Koto Panjang, Supayang jo Situmbuak, Gurun Ampalu, Sijangek, Koto Bandampiang, Ujuang Labuah, Kampuang Sungayang VII Koto Disinan Andaleh, Baruah Bukik, Sungai Patai, Sungaiyang, Sawah Laiek dan Koto Ranah.

Daerah Batipuah X Koto daerahnya adalah : Pariangan, Padang Panjang, Jaho, Tambangan, Koto Laweh, Pandai Sikek, Sumpu, Malalo, Gunuang, Paninjauan. Lintau Buo IX Koto merupakan perkembangan dari Tanjung Sungayang dan Andaleh Baruah Bukik yang terdiri dari Batu Bulek, Balai Tangah, Tanjung Bonai, Tapi Selo, Lubuak Jantan. Nagari-nagari ini disebut juga Limo Koto Nan Diateh. Kemudian ditambah dengan Empat Koto di Bawah yaitu; Buo, Pangian, Taluak dan Tigo Jangko. Perpindahan penduduk ke daerah selatan, muncul 13 nagari yang disebut dengan Kubuang XIII. Nagari-nagari yang termasuk Kubang XIII adalah : Solok Salayo, Koto Hilalang, Cupak, Talang, Guguak, Saok Laweh, Gantuang Ciri, Koto Gadang, Koto Anau, Muaro Paneh, Kinali, Koto Gaek dan Tanjuang Balingkuang. Dari arah Kubuang XIII berkembang terus menjadi Alahan Panjang, Pantai Cermin, Alam Surambi Sungai Pagu.

Dari daerah Batipuah X Koto, dari Jaho dan Tambangan terjadi perpindahan ke Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin, Toboh Pakandangan yang dinamakan Ujung Darek Kapalo Rantau 2 X 11 Enam Lingkuang. Dari daerah ini berkembang menjadi VII Koto Sungai Sariak yang terdiri dari Tandikek, Batu Kalang, Koto Dalam, Koto Baru, Sungai Sariak, Sungai Durian, Ampalu.

Perpindahan dari Lintau Buo, Tanjuang Barulak berlajut kearah timur sampai ke Sijunjung Koto Tujuah, Koto Sambilan Nan Dihilia, Koto Sambilan Nan Di Mudiak, Kolok, Sijantang, Talawi, Padang Gantiang, Kubang Padang Sibusuak, Batu Manjulua, Pamuatan, Palangki, Muaro Bodi, Bundan Sakti, Koto Baru, Tanjung Ampalu, Palaluar, Tanjuang Guguak, Padang Laweh, Muaro Sijunjuang, Timbulun, Tanjuang, Gadang, Tanjuang Lolo, Sungai Lansek. Adapun yang menjadi daerah inti dari Luhak Tanah Datar adalah kabupaten Tanah Datar sekarang.

3. Luhak Agam

Luhak Agam merupakan luhak yang kedua sesudah Luhak Tanah Datar. Luhak Agam berasal dari Pariangan Padang Panjang dan kedatangan penduduk ke Luhak Agam pada mulanya empat kaum atau empat rombongan yang berlangsung empat periode dan tiap periode empat-empat. Periode pertama keempat rombongan ini mendirikan empat buah nagari yaitu Biaro, Balai Gurah, Lambah dan Panapuang. Periode kedua mendirikan Nagari Canduang, Koto Laweh, Kurai dan Banahampu. Periode ketiga lahir Nagari Sianok, Koto Gadang, Guguak dan Tabek Sarojo. Periode keempat mendirikan Nagari Sariak, Sungai Puar, Batagak dan Batu Palano.

Dengan demikian Luhak Agam terdiri enam belas koto pada mulanya dan kemudian berkembangan nagari-nagari lainnya seperti Kapau, Gadut, Salo, Koto Baru, Magek, Tilatang Kamang, Tabek Panjang, Pincuran Puti, Koto Tinggi, Simarasok dan Padang Tarab. Dari gugusan Sianok Koto Gadang berkembang sampai ke Matur, Kampung Panta, Lawang Togo Balai, sampai ke Ranah Palembayan. Perkembangan ini bertemu dengan yang datang dari Kamang dan Tujuh Lurah Koto Rantang. Perpindahan selanjutnya telah melahirkan Nagari Kumpulan, Ganggo, Kinali, Sundata, Lubuak Basuang, Batu Kambing, Katiagan, Sasak dan Tiku. Dari Matur perkembangan selanjutnya ke Maninjau, Muko-Muko, XII Koto Sungai Garinggiang, Gasan, Tiku, Lauik Nan Sadidih, melalui Malalak, Sigiran, Cimpagok, Ulu Banda dan seterusnya menjadi Limo Koto Kampuang Dalam, Piaman Sabatang Panjang dan III Koto Malai. Dari Malalak berkembang juga ke Sungai Batang, Sigiran, Tanjuang Sani melalui Batu Anjuang.

Perpindahan dan perkembangan dari Tiku Pariaman akhirnya bertemu dengan perpindahan dari Jaho, Tambangan dan Bungo Tanjuang dari Luhak Tanah Datar dan melahirkan Padang VIII Suku. Padang VIII Suku ini terdiri dari Pasia, Ulak Karang, Ranah Binuang, Palinggam, Subarang Gantiang, Parak Gadang, Aia Cama, Alang Laweh, Balai Tampuruang.

Dari daerah Kubuang XIII bertemu dengan perpindahan dari Tiku Pariaman dan Padang VIII Koto akhirnya melahirkan nagari Lubuak Kilangan, Tarantang, Baringin, Bandar Buek, Limau Manis Nan XX. Nagari yang termasuk Nan XX adalah Lubuak Bagaluang jo Ujuan Tanah, Tanjuang Saba, Pitameh, Banuaran, Koto Baru, Pampangan, Pasia Gauang, Sungai Barameh, Taluak Nibuang, Piai, Tanah Sirah, Batu Kasek, Parak Patamburan, Gurun Laweh, Tanjuang Aua, Batuang Taba, Kampuang Jua, Cangkeh, Kampuang Baru. Perpindahan dari Singkarak, Saniang Baka dengan melintasi bukik barisan telah melahirkan nagari Pauh Lima dan Pauh Sembilan, Kandih dan Nanggalo.

Dapat diambil kesimpulan bahwa Kota Padang sekarang merupakan pertemuan dari penduduk yang berasal dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Kubuang XIII. Secara historis tepat sekali kota padang ibukota propinsi Sumatera Barat, bila dikaitkan wilayah adat Minangkabau, karena sebagian besar wilayah adat berkaitan dengan bandar Padang tersebut.

4. Luhak Lima Puluh Koto

Luhak Limo Puluah Koto disebut Luhak Nan Bonsu. Wilayah yang termasuk Lima Puluh Kota terdiri empat bagian. Keempat wilayah tersebut adalah:

a. Sandi

Daerahnya dari Bukit Sikabau Hilir sampai Muaro Mudiak, Nasi Randam hingga Padang Samuik ketepi yang meliputi Nagari Koto Nan Gadang dan Koto Nan Empat sekarang ini.

b. Luhak

Luhak daerahnya dari Mungo Mudiak hingga Limbukan Hilia, Mungo, Koto Kaciak, Andaleh, Tanjuang Kubu, Banda Tunggang, Sungai Kamuyang, Aua Kuniang, Tanjuan Patai, Gadih Angik, Limbukan, Padang Karambia, Limau Kapeh, Aia Tabik Nan Limo Suku.

c. Lareh

Yang menjadi wilayah lareh sejak dari Bukik Cubadak sampai mudiak hingga Padang Balimbiang Hilir. Pusatnya di Sitanang Muara Lakin. Perkembangan dan perpindahan penduduk selanjutnya lahir nagari-nagari Ampalu, Halaban, Labuah Gunuang, Tanjuang Baringin, Kurun, Labuak Batingkok, Tarantang, Sari Lamak, Solok, Padang Laweh.

d. Hulu

Yang termasuk wilayah hulu dalam Luhak Lima Puluh Kota adalah yang “Berjenjang Ke Ladang Laweh Berpintu Ke Sungai Patai, Selilit Gunuang Sago, Hinggo Labuah Gunuang Mudik Hinggo Babai Koto Tinggi”.

Dari Luhak Lima Puluh Kota perkembangan selanjutnya ke Muaro Sungai Lolo, Tapus Rao Mapattunggal, Kubu Nan Duo, Sinuruik, Talu Cubadak, Simpang Tonang, Paraman, Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Air Balam, Sikilang Aia Bangih.
Dari Niniak Nan Balimo (nenek yang berlima) yang meninggalkan rombongan telah membuat tempat kediaman baru yaitu Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih. Sebagai daerah Luhak Lima Puluh Kota adalah Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang.

5. Kepribadian Masyarakatnya

Kepribadian masing-masing luhak juga diungkapkan dalam bambo, dengan perumpamaan, yaitu Luhak Agamdikatakan buminya-panas, airnya keruh, ikannya liar. Perumpamaan ini ditafsirkan bahwa penduduknya keras hati, berani dan suka berkelahi. Luhak Tanah Datar dikatakan buminya lambang, airnya tawar, ikannya banyak, dengan penafsiran masyarkatnya ramah, suka damai dan sabar. Sedangkan Luhak Lima Puluh Kota dikatakan buminya sejuk, airnya jernih dan ikannya jinak yang artinya bahwa masyarakatnya mempunyai kepribadian berhati lembut, tenang dan suka damai.

Prof. Hamka mengatakan, sifat ketiga luhak ini surang cadiak, surang pandeka, surang juaro tangah balai. “pendekar luhak tanah datar, juara tengah balai Luhak Agamdan cerdik luhak lima puluh kota.

Disamping perbedaan kepribadiannya juga warna tiap-tiap luhak saling berbeda yang mungkin ada kaitannya dengan kepribadiannya tadi. Warna kuning untuk Luhak Tanah Datar, warna merah untuk Luhak Agam dan biru untuk Luhak Lima Puluh Kota. Sedangkan tiap luhak mempunyai perlambang yang diambil dari hewan. Luhak Tanah Datar hewannya kucing. Sifat kucing yang jinak dan penyabar tetapi bila habis kesabarannya baru dia memperlihatkan kukunya. Luhak Agam lambang hewannya harimau. Harimau sebagai perlambang sikap berani dan pantang menyerah. Luhak Lima Puluh Kota lambang hewannya kambing. Kambing walaupun jinak tapi tidak bisa ditarik begitu saja, dia mempunyai kepribadian yang kokoh dan tidak mau cepat terpengaruh. Perumpamaan-perumpamaan diatas dikaitkan dengan sifat kepribadian masing-masing luhak.
*4. Rantau
1. Pengertian Rantau

Menurut kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, arti dari pada “rantau” banyak sekali. Rantau mempunyai pengertian pantai sepanjang teluk (sungai), pesisir, daerah diluar negerinya sendiri, negeri asing tangah (negeri) tempat mencari penghidupan. Pengertian yang diambil terhadap rantau ini adalah tanah (negeri) tempat mencari penghidupan. Di tempat ini muncul nagari-nagari yang didiami oleh orang-orang yang datang dari Luhak Nan Tigo.

2. Daerah Rantau Luhak Nan Tigo

Tiap-tiap luhak mempunyai daerah rantau masing-masing sesuai dengan perpindahan penduduk dari luhak tersebut.

Rantau Luhak Tanah Datar meliputi rantau Batang Hari, Pucuak Jambi Sembilan Lurah, yaitu daerah-daerah sailiran batang hari. Di daerah hulu Batang Hari dikenal Rantau Cati Nan Kurang Aso XX. Rantau Nan Kurang Aso XX yaitu Lubuak Ambacang, Lubuak Jambi, Gunuang, Koto, Benai, Pangian, Basra, Sitanjau, Kopa, Teluk Ingin, Indoman, Surantih, Taluak Rayo, Simpang Kulayang, Aia Molek, Pasia Ringgik, Kuantan, Talang Mamak dan Kuala Enok. Daerah Rantau Luhak Tanah Datar yang lain yaitu Rantau Pesisir Panjang yang dinamakan Bandar X. daerah yang termasuk Bandar X adalah : Batang Kapeh, Kuok, Surantih, Amping Parak, Kambang, Lakitan, Punggasan, Air Haji, Painan, Banda Salido, dan Tarusan. Tapan, Lunang, Silaut, Indopuro dan Manjuto juga merupakan Rantau Luhak Tanah Datar.

Disamping itu ada juga yang disebut Ujung Darek Kapalo Rantau dari Luhak Tanah Datar. Ujung Darek Kapalo Luhak Tanah Datar merupakan daerah perbatasan antara Luhak Tanah Datar dengan daerah rantau. Daerah tersebut adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapao Hilalang, Sicincin Tinggi, Toboh Pakandangan, 2 X 11 Enam Lingkuang dan VII Koto Sungai Sariak.

Luhak Agam daerah rantaunya adalah Tiku Pariaman, Sasak Air Bangis, sedangkan daerah yang disebut ujuang darek kapalo rantau adalah Palembayan, Sirasak Aie, Sungai Garinggiang, Lambah Bawan, Padang Manggopoh. Ke selatan adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Toboh Pakandangan.

Luhak Lima Puluh Kota daerah rantaunya adalah rantau Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang termasuk daerah Kampar Kiri terdiri dari enam daerah yaitu Kudai, Ujuang Bukik, Gunuang Sahilan, Lipat Kain, Kuniuk dan Sanggan. Rantau Kampar Kanan dibagi atas tiga bagian. Pertama disebut di hulu Tuangku Nan Tigo, yang terdiri dari Limbanang Koto Laweh, Koto Tangah dan Koto Tinggi, Sungai Dadok dan Sungai Naniang. Yang kedua disebut di Tengah Kampar Sembilan yang terdiri dari Yajuang, Muaro Takus, Gunuang, Malelo Pongkai, Koto Bangun, Sialang, Durian Tinggi, Kapuak dan Lubuak Alai. Yang ketiga disebut di Ulak Koto Nan Anam yang terdiri dari Koto Baru, Koto Alam, Tanjuang Pauah, Tanjuang Balik, Mangilang dan Malintang.

3. Merantau

Bila diperhatikan arti kata merantau mempunyai berbagai pengertian seperti berlayar, mencari penghidupan di sepanjang rantau (dari sungai kesungai). Merantau juga berarti pergi ke pantai atau pesisir, pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan. Dari sekian arti kata merantau maka yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pergi ke negeri laun untuk mencari penghidupan.

Ciri khas pada permulaan merantau mereka membawa adat minangkabau dengan sistem lareh yang mereka anut serta suku mereka. Di samping itu waktu-waktu tertentu mereka pulang melihat tanah asal mereka. Tujuan pulang ini agar tali kekeluargaan jangan sampai putus dengan tempat asal. Namun demikian pulang ketempat asal ini bisa jadi semakin kurang, malahan keturunan selanjutnya tidak meneruskan tradisi nenek-nenek mereka, yang tinggal hanya ceritera asal usul mereka.

Motivasi merantau pada tingkat permulaan, ialah untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka pindah jauh dari pusat Luhak Nan Tigo, yaitu di daerah pesisir dan hiliran sungai.

Perkembangan arti merantau selanjutnya bukan hanya terbatas pada daerah Alam Minangkabau saja, tetapi meluas kedaerah yang bukan etnis minangkabau. Hal ini erat hubungannya dengan situasi dan kondisi di tempat mereka tinggal. Di daerah pesisir atau di daerah hiliran sungai mereka berhubungan dengan dunia perdagangan. Secara tidak langsung kehidupan yang bersifat rural agraris berpindah kepada ekonomi perdagangan. Mereka ambil bagian dalam perdagangan antar daerah di luar Alam Minangkabau. Di daerah yang mereka kunjungi akhirnya lahir permukiman orang minangkabau seperti di Tapak Tuan, Batu Bara, Asahan, Negeri Sembilan dan lain-lain. Sampai sekarang keturunan mereka yang ada disana masih menanggap sebagai keturunan orang Minangkabau.

Pada saat sekarang pengertian merantau sudah menjadi luas. Keluar dari kampung sendiri atau ke kota lain yang masih dalam kawasan Sumatera Barat sudah dikatakan pergi merantau, apalagi pergi keluar sumatera barat. Pada permulaan merantau bertujuan untuk mencari penghidupan, sedangkan sekarang untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain juga dikatakan pergi merantau.

4. Tujuan Merantau

Untuk mencari ilmu dan memperbaiki ekonomi, disebut dalam mamangannya:

mencarikan punggung tak basaok
mencarikan paruik tak berisi

Dirantau orang harus pandai-pandai menyesuaikan diri, mamak ditinggalkan di kampung, dapati pula mamak di rantau, saudara ditinggalkan, cari pula saudara di rantau, dalam hal ini juga disebut dalam mamangan :

kok pandai bakain panjang
labiah sa elok kain saruang
kok lai pandai mangaokannyo
kok pandai ba induak samang
labiah sa elok mamak kanduang
kok lai pandai mambaokannyo

walaupun sutan di kampuang awak
anak dagang juo di rantau urang
kok mandi di hilia-hilia
kok bakato di bawah-bawah

turuikkan langkah bak bacatua
turuikkan ayun bak babuai
pakailah pulo deta jawa
kanakkan malah kain bugih
saruangkan baju guntiang cino
pakai sarawa lambuak aceh
sarato tarompa rang gujarat
baitu caro anak dagang

dima bumi dipijak
dinsanan langik dijunjuang
dima rangitiang dipatah
disitu sumua di kali
dima nagari diunyi
adat disitu nan dipakai

5. Akibat Merantau Bagi Orang Minangkabau

Akibat merantau bagi orang minangkabau yang meninggalkan kampung halaman telah meluas cakrawala atau pandangan untuk mengenal daerah diluar Minangkabau, seperti di katakan “tidak seperti katak di bawah tempurung”. Akibatnya orang minangkabau tidak berpaham sempit dalam hubungan sosial dengan lain suku bangsa. Hasil perantauan pada masa dahulu dibawa pulang untuk menjadi modal dalam membina kecerdasan dan kesejahteraan keluarga. Tipe merantau seperti ini dibentuk dengan talibun adat yang mengatakan:

karatau madang diulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di kampuang paguno balun

satinggi - tinggi malantiang
jatuahnyo ka tanah juo
sajauah-sajuah tabang bangau
suruiknyo ka kubangan juo

makna yang dapat diambil, adalah yang pergi merantau itu diharapkan dan ditunggu kedatangannya lagi, jadi bukan merantau cina.

Kepada yang muda diharapkannya untuk mencari ilmu, pengalaman sebanyak mungkin di negeri orang, baik berusaha maupun menambah ilmu. Belum ada gunanya bagi keluarga atau kampung halaman bila seseorang itu belum dapat mempersembahkan segala yang diperolehnya dari rantau. Demikian pula dengan pengalamannya di daerah rantau akan lebih mendewasakannya nanti sebagai pemimpin kaum dan negeri bila tiba saatnya menggantikan kebesaran mamaknya.

Jiwa merantau yang memikirkan kampung halaman ini masih terdapat bagi orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dengan mengalirnya bantuan dari rantau yang bertujuan bukan hanya untuk keluarga di kampung tetapi juga bantuan untuk pembangunan kampung halamannya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan