Selasa, 18 Januari 2011

Sejarah Minangkabau


Nilai Dasar Adat Minangkabau

*1. Nilai - Nilai Dasar Adat Minangkabau

Dalam pembicaraan sehari-hari sering kita dengar kata-kata perubahan nilai, pergeseran nilai, krisis nilai dan lain-lain. Namun bila kita ditanya apa yang dimaksud dengan nilai, maka kita sukar untuk mengidentifikasikannya. Hal ini mungkin disebabkan nilai tersebut merupakan bagian yang abstrak dari kebudayaan.

Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, explisit atau implisit yang menjadi milik khusus seorang atau ciri khusus suatu kesatuan sosial (masyarakat) menyangkut sesuatu yang diingini bersama (karena berharga) yang mempengaruhi pemilihan sebagai cara, alat dan tujuan sebuah tindakan.

Dalam proses penilaian selalu dilihat adanya penetapan nilai, pemilihan dan tindakan. Pada konsep nilai tersembunyi bahwa pemilihan nilai tersebut merupakan suatu ukuran atau standar yang memiliki kelestarian yang secara umum digunakan untuk mengorganisasikan sistem tingkah laku.

Kumpulan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dalam suatu sistem budaya bangsa, yaitu suatu rangkaian konsepsi abstrak yang hidup dianggap penting dan berharga, turut serta apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam hidup. Dengan demikian sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem tata kelakuan. Sistem ini memberikan arah atau orentasi pada anggota-anggota masyarakat.

Orientasi nilai bersifat kompleks, tetapi jelas memberikan prinsip yang bersifat analitik, yaitu yang bersifat pengetahuan, perasaan, kemauan yang memberikan tata (orde) dan arah kepada arus pemikiran dan tindakan anggota-anggota suatu masyarakat, manakala prinsip-prinsip tersebut dihubungkan dengan pemecahan masalah-masalah kehidupan yang umum bagi semua manusia. Prinsip-prinsip ini beragam-beragam, tetapi keragaman tersebut bersifat hanya membedakan tingkat bagian-bagian dari semua elemen-elemen yang universal dari kebudayaan umat manusia.

Nilai-nilai dasar yang universal tersebut adalah masalah hidup, yang menentukan orientasi nilai budaya suatu maysarakat, yang terdiri dari hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.

Variasi lain adalah perbedaan-perbedaan dalam kesadaran individu akan orientasi nilai itu, yang berada dalam kelanjutan, mulai yang bersifat implisit (khusus) sampai kepada explisit (umum). Setiap kebudayaan tersebut mempunyai pandangan terhadap kehidupan atau memberikan suatu nilai tertentu terhadap kehidupan itu, apakah hidup tersebut suatu yang beik, suatu yang buruk, atau suatu yang harus diperbaiki. Demikian pula ada penilaian terhadap pekerjaan. Apakah kerja tersebut untuk hidup, untuk kedudukan atau untuk menambah kerja. Pandangan terhadap waktu, akan menentukan penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan waktu, akan menentukan penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan waktu. Juga orientasi waktu tersebut akan sangat menentukan berbagai pola tingkah laku. Pertanyaan yang daat diajukan adalah sebagai berikut : “apakah suatu masyarakat sangat menghargai masa lalu, masa sekarang atau masa depan ?”. Sedangkan pandangan yang menyangkut hubungan manusia dengan alam, pilihan nilai yang dominan akan berkisar di sekitar pertanyaan : “apakah orang harus tunduk kepada alam, mencari keselarasan dengan alam, atau menundukkan alam ?”. Unsur universal yang terakhir adalah menyangkut hubungan sesama manusia. Pertanyaan : “apakah suatu masyarakat menganut pandangan, bahwa ada hirarki di antara sesama anggota, ataukan pandangan saling tergantung sesamanya, ataukan menilai tinggi ketidak ketergantungan ?”.

Jawaban nilai mana yang dominan dalam kebudayaan suatu masyarakat akan menentukan orientasi nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Nilai yang dominan tersebut akan dirumuskan dalam norma-norma yang akan menuntun anggota-anggota suatu masyarakat dalam berfikir, yang selanjutnya menentukan perilaku anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula nilai yang dominan tersegbut akan dapat pula menentukan sikap-sikap anggota suatu masyarakat terhadap lingkungan kehidupan yang menjurus kepada pola prilaku tertentu.

Dalam hubungan kepribadian suatu masyarakat, nilai yang dominan akan disampaikan lewat media pendidikan kemasyarakatan yang bersifat non formal, sehingga menghasilkan anggota-anggota masyarakat dengan kepribadian yang relatif hampir bersamaan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, yatiu hal yang menyangkut hubungan kebudayaan dan nilai-nilai, merupakan salah satu cara pengenalan dan klasifikasi nilai sosial budaya. Klasifikasi nilai lain, mungkin banyak sekali. Spranggers mengemukakan pembagian nilai yang dominan yang dianut suatu masyarakat dibagi berdasarkan atas nilai teoritis, nilai ekonomi, dan nilai agama.

Untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai dasar adat Minangkabau berbagai cara dapat dilakukan, antara lain dengan mempelajari tentang masyarakat dan lingkungan atau dengan mempelajari perilaku mereka. Terlebih dahulu mereka mempelajari kata-kata (kato), dari sini akan dapat diungkapkan nilai-nilai dasar dan norma-norma yang menjadi penuntun orang Minangkabau berfikir dan bertingkah laku. Dengan kata lain perkataan pola berfikir dan prilaku orang Minangkabau, ditentukan oleh “kato” sebagai nilai dasar norma-norma yang menjadi pegangan hidup mereka, katakanlah falsafah hidup, yang menyangkut makna hidup, makna waktu, makna alam bagi kehidupan, makna kerja bagi kehidupan dan makna individu dalam hubungan kemasyarakatan.

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, kata-kata (kato) seperti yang terkandung dan terungkap dalam prinsip-prinsip dasar atau rumusan-rumusan kebenaran, pepatah, petitih, pituah, mamangan dan lain-lain ekspedisi simbolik tentang diri mereka dalam hubungan dengan alam, dengan lingkungan sosial budaya, merupakan media yang dapat dipakai dalam mengetahui dan memahami nilai-nilai yang dominan yang dianut mereka. Dikatakan “manusia tahan kato (kias) binatang tahan palu (cambuk).

Sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat Minangkabau, sewaktu merintis menyusun adat, mereka mengambil kenyataan yang ada pada alam sebagai sumber analogi bagi nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur kehidupan mereka. Mereka mengungkapkan hal ini dalam perumusan yang dianggap mereka sebagai kebenaran “alam takambang jadi guru” (alam terkembang jadi guru). Hukum alam menjadi sumber inspirasi yang dijadikan pedoman untuk merumuskan nilai-nilai dasar bagi norma-norma yang menuntun mereka dalam berfikir dan berbuat.

Disamping belajar dari alam, pengalaman hidup yang dapat dijadikan pula pegangan, bahwa manusia harus belajar dari pengalamannya. Belajar dari alam dan pengalaman merupakan orientasi berfikir yang dominan dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini dengan tegas dicontohkan mereka dalam ungkapan adat yang mendasarkan pandangan kepada alam “patah tumbuah hilang baganti” (patah tumbuh hilang berganti).

Selanjutnay dikatakan pula “maambiak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang” (mengambil contoh kepada yang sudah, mengambil tuah kepada yang menang). Mereka menafsirkan dan melihat yang ada dalam alam ini mempunyai tujuan dan makna hidup, kerja, waktu dan kehidupan sesamanya. Semuanya itu diungkapkan dalam bentuk nilai-nilai yang dominan yang menjadi pegangan dan pedoman bagi masyarakat Minangkabau. Sekarang akan kita lihat nilai-nilai dasar yang fundamental dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

*2. Pandangan Terhadap Hidup


Tujuan hidup bagi orang Minangkabau, adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Minangkabau mengatakan, bahwa “hiduik bajaso, mati bapusako” (hidup berjasa, mati berpusaka). Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka peribahasa yang dikemukakan adalah :

Gajah mati meninggalkan gadiang
Harimau mati maninggakan balang
Manusia mati meninggalkan jaso

(gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan jasa).

Dengan pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan, dan masyarakatnya.

Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat menunjuk mengajari anak kemenakan sesuai dengan norma adat yang berlaku. Dengan demikian diharapkan kesinambungan dari adat yang diwarisi sebagai pusaka yang diturunkan secara turun temurun. Ungkapan adat juga mengatakan “pulai batinkek nalek meninggalkan rueh jo buku, manusia batingkek turun maninggakan namo jo pusako” (pulai bertingkat baik meningalkan ruas dan buku, manusia bertingkat turun meninggalkan nama dan pusaka).

Struktur sosial Minangkabau memberi tanggungjawab yang berat kepada orang laki-laki Minangkabau, sehingga mendorong lebih lanjut untuk berusaha memenuhi tuntutan agar berjasa kepada kerabat dan kampung halamannya.

Kedatangan agama islam yang mengemukakan manusia itu makhluk tuhan dan dijadikan khalifah dimuka bumi untuk menjadi lebih dahulu memberikan makna dan nilai yang tinggi terhadap hidup. Dengan kata lain agama telah memperkokoh pandangan terhadap hidup yang telah dipunyai oleh adat sebelumnya. Nilai hidup yang lebih baik dan tinggi ini telah menjadi pendorong bagi orang Minangkabau untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis dan kreatif.
*3. Pandangan Terhadap Kerja


Sejalan dengan makna hidup bagi orang minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang sangat membuka orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakan. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan ” hilang rano dek penyakik, hilang bangso tak barameh ” (hilang warna karena penyakit, hilang bangsa karena tidak beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena kemiskinan, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.

Juga dikemukakan oleh adat ” ameh pandindiang malu, kain pandindiang miang ” (emas pendinding malu, kain pendinding maian). Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat sebagai berikut :

Kayu hutan bukan andaleh
Elok dibuek ka lamari tahan hujan barani bapaneh
Baitu urang mancari rasaki

(kayu hutan bukan andalas, elok dibuat untuk lemari, tahan hujan berani berpanas, begitu orang mencari rezeki)

Dari etos kerja ini, anak-anak muda yang punya tanggung jawab di kampung disuruh merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada kerabat di kampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan orang minangkabau terkenal dirantau sebagai makhluk ekonomi yang ulet.

Menghadapi masa tua harus mempersiapkan diri ketika muda, jangan disia-siakan waktu untuk bekerja. Dan berusaha agar di masa tua tidak kecewa dalam hidup. Peribahasanya mengatakan : “waktu ado jan dimakan, lah abih baru dimakan” (waktu ada jangan dimakan, sudah habis baru dimakan). Arti dari peribahasa ini adalah ketika ada tenaga dan masih muda bekerjalah dankumpulkanlah harta sebanyak mungkin, tetapi jangan lupa menyisakan untuk masa tua. Bila tiada maksudnya tiada tenaga lagi atau sudah tua, maka baru hasil simpanan dan usaha semasa muda dinikmati.

*4. Pandangan Terhadap Waktu

Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita mendengan “waktu adalah uang atau waktu sangat berharga”. Mungkin ungkapan ini diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “time is money”.

Sebenarnya bagi orang Minangkabau waktu berharga ini bukanlah soal baru, malahan sudah merupakan pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna, sebagamana dikatakan “duduak marawik ranjau, tagak maninjau jarah” (duduk merawit ranjau, berdiri meninjau jarah). Ungkapan ini mengumpamakan kepada seorang prajurit, bila dia duduk diisi waktunya dengan meraut ranjau yang akan dipasang menghadapi musuh, bila berdiri hendaklah meninjau jarah (meninjau jauh ke daerah yang luas sehingga bisa melihat musuh yang tiba-tiba dapat saja menyerang).

Tidak disukai oleh adat, bagi orang yang tidak menentu dan selalu dalam keraguan, hal ini dikatakan dalam ungkapannya “duduak sarupo urang kamanjua, tagak sarupo urang kamambali” (duduk seperti orang yang akan menjual, berdiri seperti orang yang akan membeli).

Waktu yang terbuang percuma saja juga tidak diingini, sebagaimana dikatakan “siang ba habih hari, malam ba habih minyak” (siang berhabis hari, malam berhabis minyak). Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau. Maliek contoh ka nan sudah (melihat contoh kepada masa lalu) merupakan keharusan. Bila masa lalu tidak menggembirakan dia akan berusaha memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang.

Mambangkik batang tarandam (membangkit batang terendam), merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan adat menfatwakan “bakulimek sabalun habih, sadiokan payuang sabalum hujan” (berhemat sebelum habis, sediakan payung sebelum hujan). Kehati-hatian untuk menghadapi masa depan juga adat menginginkan sebagaimana yang dikatakan :

Hari paneh kok tak balinduang
Hari hujan kok tak bataduah
Hari kalam kok tak basuluah
Jalan langang kok tak bakawan

(hari panas jika tidak berlindung, hari hujan jika tidak berteduh, hari kelam jika tidak bersuluh, jalan lengang jika tidak berteman).

Perspektif masa depan yang tinggi bagi orang Minangkabau juga terlihat dengan kuatnya mereka memelihara sistem pemilikan komunal mereka. Dengan cara memelihara tanah komunal, warih di jawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong) mengungkapkan nilai dasar yang menekankan identitas Minangkabau.


*5. Hakekat Pandangan Terhadap Alam

Orang Minangkabau menjadikan alam sebagai guru, sebagaimana yang dikatakan dalam mamangan adatnya sebagai berikut:

Panakiek pisau sirawik
Ambiak galah batang lintabuang
Salodang ambiak kanyiru
Satitiak jadikan lauik
Sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadi guru

(panakik pisau seraut, ambil galah batang lintabung, silodang jadikan nyiru, setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).

Alam Minangkabau yang indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan berdanau, kaya dengan flora dan fauna telah memberi inspirasi kepada masyarakatnya. Mamangan, petatah, petitih, ungkapan-ungkapan adatnya tidak terlepas dari pada alam.

Alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau, ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru, seperti dikatakan, bahwa adat itu adalah:

Sakali aia gadang
Salaki tapian barubah
Namun aia kailia juo sakali gadang baganti
Sakali peraturan barubah
Namun adat baitu juo

(sekali air besar, sekali tepian berubah, namun air ke hilir juga, sekali besar berganti, sekali peraturan berubah, namun adat begitu juga).

Menurut pandangan hidup orang Minangkabau ada unsur-unsur adat yang bersifat tetap ada yang bisa berubah. Yang tetap itu biasa dikatakan “nan indak lapuak dek hujan, nan indak lakan di paneh”, (yang tidak lapuk karena hujan, yang tidak lekang karena panas).

Unsur-unsur itulah yang dalam klasifikasi adat termasuk “adat nan sabana adat” (adat yang sebenar adat), sedangkan yang lainnya tergolong “adat nan teradat, adat nan diadatkan dan adat istiadat” yang dapat dirubah.

Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat yang tidak lapuk karena hujan, dan tak lekang karena panas sebenarnya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Allah SWT. Oleh karena itu adat Minangkabau falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada.

*6. Pandangan Terhadap Sesama

Dalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau kebersamaan. Nilai ini dinyatakan mereka dengan ungkapan “duduak samo randah, tagak samo tinggi” (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi).

Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil permufakatan merupakan otoritas yang tertinggi. Hal ini dinyatakan oleh orang Minangkabau dengan ungkapan :

Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka alua
Alua barajo ka patuik jo mungkin
Patuik jo mungkin barajo kanan bana
Bana badiri sandirinyo (itulah nan manjadi rajo)

(kemenakan baraja kepada mamak, mamak baraja ke penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, mufakat beraja kepada alur, alur beraja kepada patut dan mungkin, patut dan mungkin beraja kepada yang benar, yang benar itulah yang menjadi raja).

Kekuasaan yang tertinggi (otoritas) menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan bana (kebenaran). Kebenaran tersebut harus dicari melalui musyawarah yang dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sangat diperlukan oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggii manusia yang menggunakan akal. Nilai-nilai yang dibawa oleh islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan islam melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau.

Orang Minangkabau mengakui hirarki, yaitu ada rakyat dan ada pemimpin. Namun pemimpin dalam konsepsi mereka adalah orang yang dipilih dalam kerabat mereka, yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal ini mereka yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal ini mereka mempersonifikasikan pemimpin dalam pribadi dan kualifikasi seorang penghulu (syarat-syarat penghulu). Dengan demikian pada hakekatnya sumber kekuasaan penghulu itu adalah rakyatnya (kemenakannya).

Dalam ungkapan adat dikatakan “tumbuahnyo ditanam, gadangnyo dilambuak”, (tumbuhnya ditanam, besarnya dilambuk). Karena sumber kekuasaan dari bawah, maka diingatkan “ingek-ingek urang di ateh, nan dibawah kok maimpok” (ingat-ingat orang di atas, yang dibawah kalau menimpa). Dengan arti kata karena pemimpinm itu dipilih oleh anak kemenakan, maka yang diangkat jadi pemimpin iitu jangan sampai tidak memperhatikan kemenakannya, sebab kalau tidak demikian kepemimpinannya bisa dicabut kembali.

Menurut adat pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Walaupun berbeda namun saling membutuhkan dan saling dibutuhkan sehingga terdapat kebersamaan. Dikatakan dalam mamangan ” nan buto pahambuih lasuang, nan binguang ka disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang”, (yang buta penghembus lesung, yang tuli pelepas bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat pembawa beban, yang bingung akan disuruh-suruh, yang cerdik lawan berunding). Hanya saja fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihagai karena semuanya saling isi mengisi. Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan “nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek disayangi” (yang tua dihormati, sama besar bawa berkawan dan yang kecil disayangi). Ketika agama islam masuk konsep pandangan terhadap sesama ini dipertegas lagi.

Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur sosial matrilineal yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai kemasyarakat nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat dinamis.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan