Selasa, 18 Januari 2011

Sejarah Minangkabau


Tuanku Nan Cadiak

Semenjak dahulu, Naras merupakan jalan niaga dan jalan agama tradisional dalam pengembangan surau di Minangkabau.. Tuanku Nan Cadiak, Kampuang Dalam, dikenal sebagai Bagindo Maganti. Tuanku Nan Cadiak sangat disenangi karena selalu melindungi rakyat yang membuat garam di daerah pantai.

Di Kampung Dalam, di daerah Naras ia dikenal bergelar Bagindo Maganti. Setelah memimpin surau di Kampung Dalam, ia dipanggil muridnya Tuanku Nan Cadiak. Di kalangan rakyat Naras dan Tujuh Koto, ia seorang ulama yang disegani, karena selalu menjadi pelindung rakyat yang membuat garam di daerah pantai di daerahnya.. Berkali-kali Belanda menyerang rakyat Naras dan melarang membuat garam, selalu dipertahankan Tuanku Nan Cadiak sebagai pelindung pedagang di daerah pantai..

Pada tahun 1814, Raja Dihulu atau Rajo Nando, mamak Tuanku Nan Cadiak, meninggal dunia. Rajo Nando tidak mempunyai anak laki-laki yang akan menggantikannya. Tuanku Dihilir di Pariaman, Amar Bangso Dirajo, lebih senang apabila Bagindo Molek diangkat menjadi Raja Manggung, daerah yang berbatasan dengan Pariaman.

Tuanku nan Cadiak menjadi pelindung dan penduduk Agam yang membawa barang melalui Malalak terus ke Agam dan Pandai Sikek dan Koto Laweh. Ia juga menjadi pelindung fakih dan malin yang belajar di derah pantai, seperti Ampalu Tinggi dan Ulakan. Naras semenjak dahulu merupakan jalan niaga dan jalan agama tradisional dalam pengembangan surau di Minangkabau.. Tuanku Nan Cadiak adalah orang yang cerdas dan berhasil mengembalikan daerah Manggung menjadi pusat perdagangan dan pembaruan agama di daerah pantai, sekitar Pariaman..

Elout, Residen Belanda untuk Sumatra's Westkust, mengirim surat kepada Tuanku Nan Cadiak, Tuanku Limo Koto Kampung Dalam dan Tuanku Tujuh Koto, menganjurkan mereka menyerah kepada Belanda. dengan perantaraan In't Veld., seorang saudagar di Pariaman. Dikatakannya, segala 'kesalahan' yang dilakukan selama ini, akan dimaafkan.

Tuanku Nan Cadiak membalas surat Elout itu yang bunyinya, dengan senang hati ia membaca surat itu dan minta maaf ia tak bisa datang ke Pariaman, karena terlalu sibuk mengerjakan benteng. .Tuanku Nan Cadiak mengundang In"t Velt dan akan menerimanya i Naras sambil melihat-lihat pertahanan kampung yang telah diperkuat parit dan pertahanan meriam..

Surat yang sama yang dikirim kepada Tuanku Limo Koto. Tuanku Limo Koto menjawab, bahwa ia akan menyerah, seandainya Tuanku Nan Cadiak telah menyerahkan diri.. Jawaban yang keras datang dari Tuanku Tujuh Koto menyatakan tidak akan datang kepada Anda, tetapi apabila orang Eropah mau datang, akan kami nanti karena kami merasa puas dengan pemerintah dan pemimpin kami. Sawah kami subur dan hasilnya mencukupi untuk keperluan kami.

Sejak semula Belanda ingin menguasai komoditi perdagangan dari Minangkabau. Untuk itu, Belanda berusaha menguasai pelabuhan-pelabuhan di pantai barat, seperti Naras, Tiagan dan Air Bangis. Dengan menguasai ketiga pelabuhan itu, Belanda beranggapan akan dapat menguasai komoditi Sumatera Barat yang sangat menguntungkannya. Usaha itu terlihat dari beberapa kegiatan pasukan Belanda untuk menguasai pelabuhan Naras, kunci jalan dagang dari Agam melalui Malalak. Tiagan dan Sasak di utara Tiku, suatu pelabuhan yang dilindungi bukit-bukit sebagai saluran komoditi dari daerah Kinali dan Bonjol. Demikian juga halnya dengan Air Bangis, pintu perdagangan dari Rao dan sekitarnya yang kaya dengan komoditi emas.

Pasukan Bonjol bergerak ke pantai untuk memutuskan hubungan antara pedalaman dengan daerah pantai. Dua buah meriam yang direbut di Air Bangis (1830), diserahkan kepada Tuanku Nan Cadiak. Bantuan itu menambah semangat Tuanku Nan Cadiak menentang kekuasaan Belanda.

Pertarungan hebat terjadi antara pasukan Belanda yang menyerang kubu pertahanan Tuanku Nan Cadiak yang terjadi selama bulan Desember 1830. Pasukan Bonjol membantu Tuanku Nan Cadiak setelah mengundurkan diri ke Manggopoh.

Pada tahun 1831, pasukan Belanda mencoba menyerang Naras dan Tujuh Koto di bawah pimpinan Jendral Michiels. Naras, sebuah kampung yang bagus terbakar oleh serangan meriam Belanda. Tuanku Nan Cadiak dan pengikutnya ingin mengungsi ke Bonjol melalui Danau Maninjau. Pada waktu pasukan Belanda mengejarnya rombongan Tuanku Nan Cadiak. Ibu, isteri dan putri Tuanku Nan Cadiak mati terbunuh. Kepala isterinya dipancung dan dipertontonkan kepada rakyat di Pariaman. Belanda mengumumkan akan memberi hadiah kepada orang yang dapat menangkap Tuanku Nan Cadiak. Dua orang putri Tuanku Nan Cadiak disandra Elout sehingga memaksanya menyerah kepada Belanda. Setelah menyerah kepada Belanda, Tuanku Nan Cadiak datang ke Bonjol sebagai juru bicara Belanda pada tahun 1832. Tuanku Imam sangat kecewa ketika Tuanku Nan Cadiak datang sebagai juru bicara Belanda..

Beberapa bulan setelah Tuanku Imam Bonjol menyerah pada akhir tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berhasil mengadakan Kesepakatan Tandikek, hanya beberapa ratus meter dari pasukan Belanda di Bonjol. Pertemuan itu merundingan untuk melakukan serangan serentak kepada setiap pos Belanda di seluruh Minangkabau. Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Pamansiangan dan penghulu Lawang Tanah Duo Baleh (Palembayan), negeri Danau (Maninjau), Lubuk Sikaping dan Sipisang sepakat dengan orang Alahan Panjang melancarkan serangan serentak terhadap setiap pos Belanda pada tanggal 11 Januari 1833.

Tuanku Imam dapat pula mempertemukan kedua pemimpin, Bagagarsyah, raja Pagaruyung dan Sentot Ali Basyah. Tuanku Imam mengharapkan Sentot bersedia menjadi Sultan di Minangkabau. Pada saat lebaran Sentot bersama isterinya datang ke Pagaruyung. Sebagai seorang Islam, dia ingin berlebaran dan membayarkan zakat fitrahnya di Pagaruyung. Di saat lewat pada penjagaan pos Belanda di benteng Fot van der Cappelen, Sentot Prawirodirjo yang dipanggil masyarakat Minangkabau dengan Sentot Alibasya menegur mereka dengan sindiran, Bagagarsyah dan semua penghulu di Pagaruyung berjanji di bawah sumpah setia (bai'at) pada Sentot bahwa mereka akan mempertahankan agama dan negeri dari serangan Belanda.

Elout sebagai Residen Sumatra's West kust melapor kepada atasannya Gubernur Jendral di Batavia, bahwa Minangkabau telah aman dan siap untuk melakukan tanaman paksa kopi. Ternyata seluruh Minangkabau melakukan serangan serentak, sehingga Elout, Residen Belanda, merasa dikhianati. Sentot menangkap para penghulu dan pejuang di Guguk Sigandang. Kemudian menangkap Sentot Prawiro Dirjo, yang dikenal orang Minangkabau dengan panggilan Ali Basyah, Bagagarsyah Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung dan Tuanku Nan Cadiak dari Naras. Tuanku Nan Cadiak ditangkap dan dikirim ke Batavia kemudian disekap dalam penjara di bawah tanah di Taman Fatahilah sekarang sampai ia meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Tak terbayang di muka Tuanku Nan Cadiak penyesalan sedikit pun. -SAN-


Sumber: Sjafnir Aboe Nain, drs, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau, 1784-

1832, Penerbit ESA, Padang 1988

Boelhouwer, L.C.Henneringen van mijn verblijf of Sumtra's Westkust, Gedurende de Jaaren 1831-

1834, terjemahan Djafri Dt. Lubuk Sati, Pengalamanku Perang di Sumatera Barat 1831-1834,

Tiada ulasan:

Catat Ulasan